Sejarah dan Fungsi Wedung
Hartalangit.com – Wedung adalah senjata tradisional atau alat tebas yang bentuknya seperti pisau dengan bilah lebar. Wedung banyak dibuat pada masa Kesultanan Demak karena di anggap lebih fungsional dari Keris yang pada masa Kerajaan Majapahit sangat termashur.
Ketika Kerajaan Majapahit mulai rapuh (1480 M), Demak Bintoro mulai memiliki pengaruh di beberapa wilayah pesisir utara Jawa seperti Jepara, Kudus, Juwana, Pati dan wilayah-wilayah lainnya.
Demak merubah tatanan Kerajaan Hindu - Budha menjadi bernafas Islam dengan dukungan dari Walisongo. Dalam menyebarkan ajaran agama Islam di Jawa, Walisongo lebih banyak menggunakan cara-cara yang halus, salah satunya melalui pendekatan tradisi dan budaya.
Sunan Kalijogo adalah salah satu anggota Walisongo yang sangat terkenal dengan kepiawaiannya dalam memodifikasi kesenian tradisional dan menciptakan berbagai macam hiburan rakyat sebagai media dakwahnya, sehingga masyarakat Jawa mulai tertarik dengan ajaran Islam.
Ada beberapa sebab yang membuat Kerajaan Majapahit lemah, antara lain: Seringnya terjadi bencana alam, Canggu sebagai pelabuhan terbesar Majapahit rusak parah diterpa bencana alam, perang Paregreg mengakibatkan kondisi ekonomi kacau, kesenjangan sosial semakin parah dimana jurang antara orang kaya dan miskin semakin melebar dan seringnya terjadi kerusuhan karena meruncingnya perbedaan paham kepercayaan.
Berita dari China yang menyatakan bahwa roda pemerintahan Majapahit (1486 - 1527 M) sudah dibawah pengaruh Kesultanan Demak Bintoro.
Berita dari China itu mengatakan bahwa Pangeran Djiemboen dari Demak menyebarkan ajaran kebaikan (Islam) dalam pepatah yang berbunyi “Siuw Chen Chung Chok”. Siuw: memperbaiki, Shen: sendi dan Chung Chok: agama atau ajaran yang menitik beratkan pada perbaikan akhlak pada diri Manusia.
Paham-paham kepercayaan yang berkembang di masyarakat membuat pertikaian tidak kunjung padam. Kitab Salokantara karya Raden Patah (Djiemboen) diluncurkan sebagai panduan fikih Islam (ajaran akhlak Islam).
Majapahit terus disibukkan dengan pertikaian elit Kerajaan, bencana alam, kelaparan dan wabah penyakit (pageblug).
Sementara itu, Demak semakin perkasa dengan terus melakukan pembangunan dan memperkuat pertahanan yang dirancang untuk menangkal ancaman Portugis yang mulai mendekati gerbang Tanah Jawa.
Banyak ahli mesiu dari Yunan Islam (Kunming - Tiongkok) didatangkan atas rekomendasi dari Aryo Damar (seorang ahli mesiu) yang juga merupakan ayah tiri Raden Patah Djiemboen dan ayah kandung Raden Kusen. Dia adalah keturunan Yunan - Islam dan merupakan anak angkat kesayangan Hayam Wuruk V.
Dengan situasi yang demikian, maka budaya Keris pada jaman Kesultanan Demak sudah pasti tidak diperhatikan oleh pusat kekuasaan karena Raden Patah (Djiemboen) lebih memilih teknologi mesiu dari pada senjata tradisional.
Tapi meski demikian, budaya Keris yang telah mengakar sejak jaman Kerajaan-Kerajaan sebelumnya sebagai senjata psikhis (piyandel / keyakinan diri) masih tetap dilestarikan.
Kemudian para Wali, terutama Sunan Kalijaga melakukan akulturasi sebagai langkah penyesuaian. Keris tetap digunakan sebagai atribut kelengkapan busana, bahkan para Wali menyandang Keris yang diselipkan / disengkelit dibalik jubahnya.
Bentuk warangka Keris Majapahit dianggap kurang praktis, lalu dirancang dengan bentuk baru agar lebih mudah disengkelit dan dibawa kemana-mana. Warangka rancangan para Wali masih banyak digunakan sampai sekarang yang dikenal dengan nama “sandang walikat” (sesuai pakaian Wali).
Kerajaan Demak menghapus hegemoni dari masa sebelumnya, sehingga Keris tidak di angkat sebagai isu penting. Bahkan Keris pada masa itu keluar dari budaya sentralistik kekuasaan dan lebih banyak disandang oleh para Ulama.
Para Wali memegang kendali adat dan budaya pada masa itu. Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang disebut-sebut sebagai pelestari budaya, bahkan Keris pusaka yang sangat terkenal dan melegenda, yaitu Keris Kyai Sengkelat pembuatannya diprakarsai oleh Sunan Kalijaga pada masa transisi sebelum Kerajaan Majapahit runtuh.
Baca juga: Sejarah, filosofi dan tuah Keris Sengkelat
Pada catatan lain ditemukan bahwa Keris pada jaman Kerajaan Demak menjadi tanda waris (warisan). Para kolega Wali atau kepercayaannya diberi Keris sebagai cindera mata tanda mandat, pembawa pesan atau sebagai utusan di pengukuhan status.
Keris-Keris yang sudah ada dari masa Kerajaan sebelumnya bergeser fungsinya sebagai benda pusaka (warisan yang dianggap bernilai tinggi).
Sebagaimana dituturkan oleh Raffles: Sunan Ampel adalah salah seorang dari sembilan Wali penyebar agama Islam di Jawa. Beberapa hari sebelum meninggal dunia beliau memberikan sebilah Keris kepada Sunan Giri dan berpesan agar Keris tersebut dijaga baik-baik jangan sampai jatuh ke tangan orang yang tidak baik.
Tulisan tersebut merupakan indikasi bahwa Keris sangat diterima dilingkungannya dan bukan suatu hal yang dianggap musyrik. Dari tulisan Raffles tersebut dapat disimpulkan bahwa pada waktu itu Keris di anggap sebagai benda pusaka yang memiliki aspek religius yang harus disimpan oleh orang-orang yang sholeh.
Pembuatan Keris pada jaman Kesultanan Demak mungkin masih tetap berlangsung namun dalam skala yang kecil dan tidak diprakarsai oleh Raja. Ciri garap atau bentuknya diperkirakan tidak berubah jauh dari bentuk Keris Majapahit.
Para Empu yang hidup pada jaman Kerajaan Majapahit sebagian besar tidak diketahui rimbanya. Hanya ditemukan catatan bahwa Sunan Kalijaga telah mendidik seorang Empu Keris bernama Jaka Sura menjadi ulama yang terkenal cerdas yang diberi gelar Empu Supo Warihanom.
Karena pada masa-masa akhir Kerajaan Majapahit dan mulai berdirinya kekuasaan Demak Bintoro, maka kekacauan dan ketegangan menghantui rakyat sipil yang kemudian menjadikan senjata bernama “Wedhung” lebih fungsional dan mulai banyak diproduksi.
Kata “Wedhung” menurut kamus bahasa Jawa “Bausastra” artinya senjata seperti pisau raut berukuran besar dan bersarung. Pada masa itu Wedhung juga termasuk sebagai atribut kelengkapan pakaian kebesaran pegawai istana.
Di sebelah selatan sentral Kerajaan Demak hingga sekarang masih ada desa Wedung yang dahulu merupakan tempat dimana para Empu Keris menggarap Wedung.
Wedhung dibuat dengan gusen indah dan juga dilengkapi dengan ricikan. Kebutuhan seni merubah Wedhung yang sebelumnya berbentuk sederhana dan berfungsi sebagai senjata tebas pada situasi kacau pada saat itu kemudian mulai bergeser menjadi benda seni yang di sakralkan seperti halnya Keris.
Wedhung mulai dibuat oleh seorang Empu dengan teknik tempa lipat dan menggunakan bahan pamor.
Motif pamor yang sering ditemukan adalah pamor Beras Wutah dan Miji Timun. Pada jaman dahulu Wedhung berpamor Miji Timun konon hanya boleh dimiliki oleh para petinggi di pantai utara Jawa.
Indikasi bahwa Wedhung berkembang dipesisir pantai utara Jawa dapat dilihat dari warangka atau sarungnya yang indah dengan tangkai dari bahan penyu. Tangkai Wedhung yang ditemukan di pesisiran pada jaman berikutnya menggunakan bahan tanduk kerbau.
Masyarakat di sepanjang pantai utara Cireboh - Gresik ikut bergerak menjadi pengikut Sunan Giri jika terjadi perlawanan fisik melawan prajurit Majapahit. Mereka bersenjata pedang dan menyelipkan Wedhung (bukan Keris) pada ikat pinggangnya sebagai identitas prajurit elite pesisiran.
Wedhung berkembang menjadi simbol status sosial didalam Keraton yang ditandai dengan diciptakannya Wedhung kecil dengan ukuran kurang dari 25 cm yang disebut “Pasikon”.
Wedhung kecil atau Pasikon tersebut menggeser fungsi Wedhung yang sebelumnya sebagai senjata tebas menjadi senjata psikhis (piyandel).
Pasikon pada masa itu hanya boleh dimiliki oleh Raja dan para petinggi Kerajaan saja. Maka tidak heran jika pada masa Kesultanan Demak dan era selanjutnya, Raja-Raja Jawa melengkapi busananya dengan Pasikon yang mudah dibawa-bawa.
Ilustrasi |
Wedhung mulai disandang oleh Sultan Trenggono (Raja Demak Bintoro) pada tahun 1506 M saat peresmian Masjid Agung Demak. Hal itu membuat para Empu Keris mulai bergairah lagi karena budaya Keris berbentuk Wedhung mulai disandang Raja dan masuk istana.
Ketika Sultan Hadiwidjaya (1581 M) mendapat pengakuan sebagai Raja Pajang setelah Demak Bintoro runtuh, para Empu Keris mulai bermuncul dan mulai menciptakan Keris lagi.
Pada masa inilah Keris lebih disempurnakan dari ciri Keris pada jaman sebelumnya. Bahan-bahan besi Keris Majapahit yang ditimbun dan tidak dipergunakan mulai dimanfaatkan sehingga seni pembuatan Keris pada jaman Pajang mulai kembali berkembang.
Keris yang pada jaman Demak tidak menjadi peng”agung”an budaya Kerajaan tidak banyak ditulis dalam naskah atau buku, kecuali hanya ditemukan pada beberapa buku kawruh padhuwungan (R. Tannaya 1938 - Ditulis ulang oleh S. Lumintu) disebutkan: “Tangguh Demak: pasikutan wingit, angker, besi basah, pamor ngambang”.
Bambang Harsrinuskmo menuliskan bahwa ciri-ciri bentuk Keris jaman Kesultanan Demak, antara lain: “Tangguh Demak: gonjo rata dengan sirah cecak kecil dan menguncup, bahan pamornya bagus, besi agak kuning kurang bercahaya (guwaya). Bentuk bilahnya agak membungkuk, tikel alis pendek, sogokan panjang, kembang kacang kecil, jalen kecil, lambe gajah agak besar dan panjang”.
Wedhung merupakan senjata tebas yang telah ada sejak masuknya pedagang-pedagang dari Asia Timur dan Tenggara. Dari beberapa penemuan senjata berbentuk serupa Wedhung di sungai Brantas - Jawa Timur diperkirakan merupakan peninggalan dari jaman Kerajaan Singhasari (abad 12 M), serta ada juga beberapa penemuan di daerah Cirebon - Jawa Barat yang kemungkinan buatan jaman Kerajaan Pasundan Hindu - Budha (abad 10 M).
Dari situ dapat disimpulkan bahwa Wedhung sudah ada sebelum jaman Kerajaan Majaphit. Pada jaman Kesultanan Demak Bintoro Wedhung mengalami perkembangannya dari fungsinya sebagai senjata tebas kemudian menjadi senjata spiritual dan simbol status sosial.
Pada jaman Mataram, bentuk Wedhung semakin indah dengan dihiasi motif pamor yang lebih beragam, bahkan ada juga yang dihiasi dengan kinatah emas dengan bentuk kaligrafi, sulur tanaman atau bunga yang sangat indah.
Wedung Kinatah |
Budaya Wedung mengalami puncaknya pada jaman Keraton Paku Buwono (Kartasura - 17 M) dimana Wedung banyak dibuat dan dihadiahkan kepada petinggi-petinggi istana di wilayah kekuasaannya.
Bahkan pada jaman Sinuhun Paku Buwono X (18 M) Wedhung sempat digunakan sebagai bahan ujian untuk para Empu yang akan diresmikan oleh Raja sebagai Empu andalan Keraton sebagai simbol janji kesetiaannya. Pada masa itu Empu Mas Ngabei Japan juga membuat Wedung yang indah.
Wedung menjadi bagian dari budaya Keris yang penting karena oleh Raja Paku Buwono X, Wedung (Pasikon) di anggap sebagai karya agung yang spesifik, antara lain didalam buku Koninklijke Geschenken Uit Indonesie, oleh Rita Wassing - Visser, disebutkan: “Wedung, senjata yang disandang dipinggang kiri depan oleh putra Raja dan para petinggi istana.
Bentuk pegangannya bersegi lima, warangka dari kayu berwarna lebih muda dengan 4 lingkaran (ring) terbuat dari emas dan dihiasi ornamen sumping (palmet dari emas) dengan initial PB X. Dibagian sisi belakang terdapat penjepit panjang berbentuk tangkai seperti sendok sepatu yang terbuat dari tanduk kerbau.
Wedung pernah dihadiahkan kepada Ratu Wilhelmina oleh Sri Susuhunan Paku Buwono X saat penobatannya pada tahun 1898.
Wedung biasa (untuk rakyat) juga digunakan oleh para abdi dalem Keraton dalam upacara-upacara resmi sebagai ungkapan pengabdian kepada istana. Bahkan disakralkan dan menjadi simbol pengabdian Manusia kepada Tuhan Yang Kuasa.
Teknik pembuatan Wedung konon jauh berbeda dengan tehnik pembuatan Keris, karena Wedung memiliki simpul-simpul keseimbangan yang harus dipelajari dengan seksama agar tantingannya menjadi ringan.
Teknik pelipatan besi pada Wedung tidak banyak variasi, kecuali tumpukan lipatan besi dan bahan pamor berpola mlumah.
Jadi dapat disimpulkan jika Wedung merupakan senjata tradisional yang memiliki nilai seni dan budaya seperti halnya Keris.
Awalnya Wedung berfungsi sebagai senjata tebas yang kemudian fungsinya bergeser sebagai senjata spiritual yang juga memiliki fungsi lain sebagai pelengkap busana.
Ciri khas atau bentuk Keris tangguh Demak merupakan misteri, namun Wedhung dan Pasikon yang bukan berbentuk Keris ternyata mampu mengisi budaya perkerisan pada masa itu sebagai mata rantai budaya yang tidak terputus.
Demikian sedikit informasi tentang sejarah dan tuah pusaka Wedung yang dapat kami sampaikan pada artikel kali ini. Untuk informasi lain seputar benda-benda pusaka, dapat dibaca pada artikel Harta Langit lainnya.
Semoga bermanfaat
Terima kasih
Post a Comment for "Sejarah dan Fungsi Wedung"