Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Advertisement

Perjalanan spiritual Kanjeng Sunan Kalijogo mencari guru sejati

perjalanan spiritual sunan kalijaga - harta langit
Lukisan Kanjeng Sunan Kalijogo

Hartalangit.com – Kanjeng Sunan Kalijaga/Kalijogo adalah salah seorang  anggota Walisongo yang sangat kharismatik dan sangat dihormati oleh kalangan penguasa maupun rakyat jelata. Beliau berdakwah dengan menggunakan pendekatan tradisi dan budaya yang dimodifikasi dengan memasukkan unsur-unsur ajaran Islam dengan tidak menghilangkan ciri khas dari budaya Kejawen yang sudah ada, sehingga ajaran-ajaran beliau lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa pada waktu itu.

Baca juga: Mengenal ilmu kebatinan Kejawen

Hal itu dilakukan karena beliau menyadari akan sulit jika berdakwah menggunakan budaya lain untuk menyampaikan ajaran agama Islam kepada masyarakat Jawa yang sudah memiliki keyakinan lain. Budaya Arab tidak akan cocok diterapkan di Jawa karena masyarakat Jawa sudah ratusan tahun hidup dengan tradisi dan budaya Kejawen yang sudah mendarah daging. Bahkan setelah dilantik menjadi anggota Walisongo beliau mengganti jubahnya dengan pakaian Jawa dan memakai blangkon atau udeng.

Nama asli Kanjeng Sunan Kalijaga adalah Raden Syahid, beliau adalah putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta dan Dewi Nawangrum. Kadipaten Tuban merupakan daerah taklukan Kerajaan Majapahit. Nama lain Tumenggung Wilatikta adalah Ario Tejo IV, keturunan Ario Tejo III, II dan I. Tejo I maksudnya adalah putra Ario Adikoro atau Ronggolawe, salah seorang pendiri Kerajaan Majapahit. Jadi, jika dilihat dari silsilahnya, Raden Syahid (Sunan Kalijaga) sebetulnya masih memiliki garis keturunan dari pendiri Kerajaan Majapahit.

Baca juga: Pusaka-pusaka ampuh peninggalan Kerajaan Majapahit

Raden Syahid lahir di Tuban pada saat Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran karena kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, pajak dan upeti yang harus disetor oleh setiap Kadipaten jumlahnya sangat besar sehingga semakin menyengsarakan rakyat kecil.

Hal itu juga di alami oleh Kadipaten Tuban yang merupakan daerah taklukkan Majapahit. Pada suatu ketika Tuban dilanda kemarau panjang dan rakyat hidup semakin sengsara, hingga suatu hari Raden Syahid bertanya ke ayahnya: “Kenapa rakyat Kadipaten Tuban yang sudah sengsara ini malah dibuat lebih menderita oleh Majapahit?”.  Tumenggung Wilatikta tentu saja hanya diam dan membenarkan pertanyaan anaknya yang kritis itu.

Karena tidak tahan melihat nasib rakyat yang semakin sengsara, akhirnya Raden Syahid terpanggil untuk berjuang dengan caranya sendiri. Cara seorang anak muda yang penuh semangat juang namun belum diakui eksistensinya, yaitu menjadi “Maling Cluring” atau pencuri yang baik karena hasil curiannya dibagi-bagikan semuanya kepada orang-orang miskin. Tidak hanya mencuri saja, tapi juga merampok orang-orang kaya dan kaum bangsawan yang memiliki banyak harta.

Tapi pada akhirnya, perbuatan Raden Syahid tersebut diketahui oleh ayahnya. Tumenggung Wilatikta marah besar setelah mengetahui apa yang telah dilakukan oleh anaknya selama ini dan mengusir Raden Syahid karena dianggap mencoreng nama baik dan kehormatan keluarga serta Kadipaten.

Pengusiran tidak hanya dilakukan sekali namun sampai beberapa kali. Saat di usir, Raden Syahid tidak kapok dan kembali melakukan perampokan tapi sialnya beliau tertangkap pengawal Kadipaten sampai Tumenggung Wilatikta kehabisan akal untuk menghadapi anaknya itu.

Tumenggung Wilatikta berkata: “Syahid anakku, kini sudah waktunya kamu memilih, pergi dari wilayah Tuban atau tewas di tangan para prajurit Kadipaten”. Setelah mendengar perkataan ayahnya, akhirnya Raden Syahid pergi dari wilayah Tuban dengan hati gundah tanpa arah dan tujuan yang jelas.

Pada suatu hari dalam perjalanannya di hutan Jati Wangi beliau bertemu dengan seorang laki-laki tua yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Sunan Bonang. Beliau adalah putra sekaligus murid Sunan Ampel yang berkedudukan di Bonang.

Raden Syahid yang awalnya berniat merampok Sunan Bonang akhirnya harus bertekuk lutut dan akhirnya berguru kepada Sunan Bonang. Oleh Sunan Bonang, kemudian Raden Syahid diminta untuk duduk bersila di pinggir sungai untuk bertapa.

Raden Syahid saat itu telah bertekad untuk mengubah tujuan hidupnya secara total yang awalnya berjuang dengan cara yang frontal (fisik) menjadi perjuangan dalam bentuk batin (metafisik). Beliau telah meninggalkan syariat dan masuk ke tingkat hakekat untuk mencapai makrifat. Tapi syarat yang di ajarkan oleh Sunan Bonang hanya satu, yaitu: duduk, diam/meneng, mengalahkan diri/ego dan patuh pada sang guru sejati (kesadaran ruh). Untuk menghidupkan kesadaran guru sejati (ruh) yang sekian lama terkubur dan tertimbun oleh nafsu dan ego, Sunan Bonang menguji tekad Raden Syahid dengan menyuruhnya untuk duduk dan diam di pinggir kali tidak diminta untuk berdzikir atau melakukan ritual apapun.

Benar-benar hanya diam atau meneng di tempat, tidak disuruh untuk memikirkan tentang TUHAN atau Dzat Adikodrati yang menguasai alam semesta. Sunan Bonang hanya meminta agar muridnya itu patuh, yaitu diam/meneng, hening, pasrah, hening, sumarah dan sumeleh. Awalnya, orang yang hanya diam tidak melakukan apa-apa pasti pikirannya akan kemana-mana dan merasa jenuh. Namun setelah sekian lama duduk diam ditempat, akal dan keinginannya akhirnya melemas dan akhirnya benar-benar tidak memiliki daya lagi untuk berpikir, energi keinginan duniawinya lepas dan sirna. Raden Syahid mengalami suwung total, fana total karena telah hilang sang diri/egonya.

“BADANKU BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESO, KANG SUKMO PURBO WASESO, KUMEBUL TANPO GENI, WANGI TANPO GONDO, AKU SEJATINE ROH SAKALIR, TEKA NEMBAH, LUNGO NEMBAH, WONG SAKETI PODO MATI, WONG SALEKSO PODO WUTO, WONG SEWU PODO TURU, AMONG AKU ORA TURU, PINANGERAN YITNO KABEH”

Demikian gambaran kesadaran ruh Raden Syahid pada saat itu. Untuk berapa lama Raden Syahid berdiam diri dipinggir sungai tidak ada catatan sejarah yang pasti. Namun dalam salah satu hikayat disebutkan bahwa Raden Syahid bertapa dipinggir sungai sampai lumut dan rerumputan menutupi tubuhnya selama lima tahun lamanya.

Setelah di anggap selesai menjalani proses penyucian diri dengan bangunnya kesadaran ruh, maka Sunan Bonang menggembleng Raden Syahid (Sunan Kalijogo) dengan kawruh ilmu agama. Sunan Bonang juga menganjurkan agar Raden Syahid berguru kepada para Wali sepuh yaitu Sunan Ampel di Surabaya dan Sunan Giri di Gresik.

Raden Syahid yang lebih dikenal sebagai Sunan Kalijaga kemudian menggantikan posisi Syekh Subakir sebagai anggota Walisongo. Beliau sangat gigih berdakwah sampai ke Semenanjung Malaya dan Thailand sehingga beliau juga diberi gelar Syekh Malaya.

Baca juga: Kisah Syekh Subakir menumbal tanah Jawa dengan Rajah Sang Kolo Cokro

Malaya berasal dari kata ma-laya yang artinya mematikan diri. Jadi, seseorang yang telah mengalami “mati sajroning urip” atau orang yang telah berhasil mematikan diri/egonya hingga mampu menghidupkan diri-sejati yang merupakan guru sejati. Sebab tanpa berhasil mematikan diri, Manusia hanya akan hidup didunia fatamorgana, dunia apus-apus atau dunia kulit dan tidak akan mampu untuk masuk ke dunia isi untuk mencapai hakikat dan makrifatullah.

Salah satu ajaran Kanjeng Sunan Kalijaga yang didapat dari Kanjeng Sunan Bonang adalah ajaran hakikat sholat sebagaimana yang disebutkan didalam Suluk Wujil:

“UTAMANING SARIRO PUNIKI, ANGRAWUHONO JATINING SOLAT, SEMBAH LAWAN PUJINE, JATINING SOLAT IKU DUDU NGISA TUWIN MAGERIB, SEMBAH ARANEKO, WENANGE PUNIKU, LAMUN ARANONO SOLAT, PAN MINONGKO KEKEMBANGING SOLAT DAIM, ING ARAN TOTO KROMO”

Artinya:

“Unggulnya diri itu mengetahui hakikat sholat, sembah dan pujian. Sholat yang sesungguhnya bukanlah mengerjakan sholat Isya atau maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila disebut sholat, maka itu hanya hiasan dari sholat daim, hanya tata krama”

Di sini, kita tahu bahwa sholat sejati adalah tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran syariat mengerjakan sholat lima waktu saja. Sholat sejati adalah sholat Daim, yaitu bersatunya semua indera dan tubuh kita untuk selalu memuji-NYA dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci didunia ini hanya TUHAN: HU-ALLAH, DIA ALLAH. Hu saat menarik nafas dan Allah saat mengeluarkan nafas. 

Sebagaimana yang disebutknan didalam Suluk Wujil:

“PANGABEKTINE INGKANG UTAMI, NORA LAN WEKTU SASOLAHIRO, PUNIKA MANGKA SEMBAHE MENENG MUNI PUNIKU, SASOLAHE RAGANIREKI, TAN SIMPANG DADI SEMBAH, TEKENG WULUNIPUN, TINJA TURAS DADI SEMBAH, IKU INGKANG NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN”

Artinya:

“Berbakti yang utama tidak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua gerakan tubuh merupakan kegiatan menyembah. Wudhu, berak dan kencing pun juga kegiatan menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang tidak pernah berakhir”

Jadi hakikat yang disebut Sholat Daim nafas kehidupan yang telah manunggaling kawulo lan Gusti, yang manifestasinya adalah semua tingkah laku dan perilaku Manusia yang diniatkan untuk menyembah TUHAN. Selalu awas, eling lan waspodo bahwa apapun yang kita pikirkan, apapun yang kita kehendaki, dan apapun yang kita lakukan adalah bentuk yang dintuntun oleh Aku sejati, Guru Seejati yang  selalu menyuarakan kesadaran holistik bahwa diri kita ini adalah diri-NYA, adanya kita ini adalah ada-NYA, kita sejatinya tidak ada, hanya DIA yang ada.

Sholat Daim juga disebut dalam Suluk Linglung karya Kanjeng Sunan Kalijaga:

“SOLAT DAIM TAN KALAWAN, MET TOYA WULU KADASI, SOLAT BATIN SEBENERE, MANGAN TURU SAHWAT NGISING”

Artinya:

“Jadi sholat daim itu tanpa menggunakan syariat wudhu untuk menghilangkan hadats atau kotoran. Sebab kotoran yang sebenarnya tidak hanya kotoran badan melainkan kotoran batin. Sholat daim boleh dilakukan saat apapun, misalnya makan, tidur, bersenggama maupun saat membuang kotoran”

Ajaran makrifat lain dari Kanjeng Sunan Kalijaga adalah ibadah haji. Tertera dalam Suluk Linglung suatu ketika Kanjeng Sunan Kalijaga bertekad untuk pergi ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji, tapi ditengah perjalanan beliau dihentikan oleh Nabi Khidir yang menasehati beliau agar tidak pergi sebelum tahu hakikat ibadah haji agar tidak tersesat dan tidak mendapatkan apa-apa selain lelah. Mekah yang ada di Saudi Arabia itu hanya simbol dan Mekah yang sejati ada didalam diri.

Dalam Suluk Wujil disebutkan sebagai berikut:

“NORANA WERUH ING MEKAH IKI, ALIT MILA TEKO ING AWAYAH, MANG TEKAENG PRANE YEN ONO SANGUNIPUN, TEKENG MEKAH TUR DADI WALI, SANGUNIPUN ALARANG, DAHAT DENING EWUH, DUDU SREPI DUDU DINAR, SANGUNIPUN KANG SURO LEGAWENG PATI, SABAR LILA ING DUNYO.

MESJID ING MEKAH TULYA NGIDERI, KABATOLLAH PINIKANENG TENGAH, GUMANTUNG TAN PACACANTHEL, DINULU SAKING LUHUR, LANGIT KATON ING NGANDHAP IKI, DINULU SAKING NGANDHAP, BUMI ANENG LUHUR, TINON KULON KATON WETAN, TINON WETAN KATON KULON IKU SINGGIH TINGALNYA AWELASAN”

Artinya:

“Tidak tahu Mekah yang sesugguhnya. Sejak muda hingga tua, seseorang tidak akan mencapai tujuannya. Saat ada orang yang membawa bekal sampai di Mekah dan menjadi wali, maka sungguh mahal bekalnya dan sulit dicapai. Padahal, bekal sesungguhnya bukan uang melainkan kesabaran dan kesanggupan untuk mati, kesabaran dan kerelaan hidup didunia.

Masjid di Mekah itu melingkar dengan Kabah berada di tengahnya. Bergantung tanpa pengait, maka dilihat dari atas tampak langit dibawah, dilihat dari bawah tampak bumi di atas. Melihat barat terlihat timur dan melihat timur terlihat barat itu penglihatan yang terbalik”

Maksudnya, bahwa ibadah haji yang hakiki itu bukanlah pergi ke Mekah saja, tapi lebih mendalam dari penghayatan seperti itu. Ibadah yang sejati adalah pergi ke Kiblat yang ada didalam diri sejati yang tidak bisa terlaksana dengan bekal harta, benda, kedudukan, atau apapun juga yang bersifat duniawi, tapi justru sebaliknya, harus bisa meletakkan semua itu untuk kemudian meneng, diam, dan mematikan seluruh ego/aku dan berkeliling ke Kiblat (aku sejati). Inilah Mekah yang metafisik dan batiniah.

Memang pemahaman ini seperti terbalik (Jadat walikan), sebab apa yang selama ini kita anggap sebagai kebenaran dan kebaikan masih merupakan pemahaman yang dangkal. Apa yang kita anggap terbaik, tertinggi dan paling berharga didunia ternyata tidak ada apa-apanya dan sangat rendah nilainya.

Bekal agar sukses menempuh ibadah haji makrifat untuk menziarahi diri sejati adalah kesabaran dan keikhlasan. Sabar berjuang dan memiliki iman yang teguh dalam memilih jalan yang mungkin bagi orang lain di anggap sebagai jalan yang sesat. Ibadah haji metafisik ini akan mengajarkan kepada kita bahwa pusat spiritual Manusia adalah bertawaf, berkeliling ke rumah TUHAN, berkeliling dan bahkan masuk ke aku sejati, kondisi yang paling suci dan bersimpuh dihadapan TUHAN Yang Maha Mulia. Tujuan ibadah haji yang terakhir adalah untuk mencapai Insan Kamil, yaitu Manusia sempurna yang merupakan cermin dari kesempurnaan-NYA.

Kanjeng Sunan Kalijaga adalah sosok Manusia yang telah mencapai tahap perjalanan spiritual tertinggi. Hal itu juga telah dicapai oleh Syekh Siti Jenar, tapi berbeda dengan Syekh Siti Jenar yang berjuang di tengah-tengah rakyat jelata, Kanjeng Sunan Kalijaga lebih menargetkan perjuangannya kepada kalangan penguasa karena beliau dilahirkan dari kerabat bangsawan yang dekat dengan wilayah kekuasaan. Cara dakwah Kanjeng Sunan Kalijaga memang terbukti lebih efektif karena dengan memegang kepalanya maka ekornya akan mengikuti.

Baca juga: Ajaran spiritual Syekh Siti Jenar yang kontroversial

Kanjeng Suna Kalijogo tidak hanya berpengaruh dibidang keagamaan saja, dalam bidang politik beliau juga memiliki peranan penting dalam berdirinya Kerajaan-Kerajaan Islam di tanah Jawa, mulai dari Kerajaan Demak, Pajang dan Mataram.

Kanjeng Sunan Kalijaga berperan menasehati Raden Patah (penguasa Demak) agar tidak menyerang Prabu Brawijaya V yang merupakan Raja Majapahit yang sekaligus adalah ayahnya karena beliau tidak pernah berlawanan dengan ajaran akidah.

Kanjeng Sunan Kalijaga juga mendukung Jaka Tingkir menjadi Sultan Pajang dan menyarankan agar ibukota dipindah dari Demak ke Pajang karena Demak dianggap telah kehilangan kultur Jawa. Pajang yang terletak di pedalaman cocok untuk memahami Islam secara lebih mendalam dengan jalur Tasawuf, sedangkan kota pelabuhan lebih cocok untuk jalur syariat.

Jasa lain dari Kanjeng Sunan Kalijaga dalam bidang politik adalah mendorong Jaka Tingkir agar memenuhi janjinya untuk memberikan tanah perdikan Mataram kepada Ki Ageng Pemanahan serta menasehati Panembahan Senopati agar tidak hanya mengandalkan kekuatan batin melalui tapa brata, tapi juga menggalang kekuatan fisik dengan membangun tembok istana dan menggalang dukungan dari wilayah sekeliling agar bisa menjadi Raja. Beliau juga mewariskan pusaka Rompi Ontokusumo atau Kyai Gondhil kepada Panembahan Senopati. Rompi tersebut bisa membuat pemakainya kebal terhadap serangan senjata apapun.

Baca juga: Kisah terciptanya Rompi Ontokusumo yang legendaris

Demikian sedikit informasi tentang perjalanan spiritual Kanjeng Sunan Kalijogo mencari guru sejati yang dapat kami sampaikan pada artikel kali ini. Untuk informasi lain seputar Dunia Spiritual dan Supranatural, dapat dibaca pada artikel Harta Langit lainnya.

Semoga bermanfaat

Terima kasih

Post a Comment for "Perjalanan spiritual Kanjeng Sunan Kalijogo mencari guru sejati"

UNTUK PEMESANAN BENDA PUSAKA: